Sved Mann, Gangster yang Menangis karena Alquran

REPUBLIKA.CO.ID, 27 Mei 2012. Kamusnya tak menyimpan pengertian dan konsep agama, sehingga ia tak sedikitpun memedulikan itu. Lingkungan sosialis yang melingkupinya memperlengkap kebingungan Sved Mann, pria apatis itu, tentang identitas dirinya. Ia pun tumbuh menjadi seorang gangster, tanpa agama.


Usai Tembok Berlin runtuh pada 9 November 1989, keluarga Sved yang berasal dari Republik Demokratik Jerman (Jerman Timur) pindah ke sebuah lingkungan baru yang sebelumnya berada di wilayah Republik Federal Jerman (Jerman Barat). Sved baru berusia 12 tahun waktu itu.

Sebelumnya, selama 28 tahun, ribuan keluarga, termasuk keluarga Sved, terpisahkan oleh tembok kokoh sepanjang 43 kilometer tersebut. Ia pertama kali dibangun pada 15 Agustus 1961, sebagai pemisah permanen antara Jerman Timur dengan Jerman Barat. Peruntuhannya menandai penyatuan kembali kedua wilayah Jerman tersebut.

‘Didikan’ lingkungan sosialis selama hidup di Jerman Timur membentuk Sved menjadi orang yang acuh tak acuh pada mereka yang beragama. “Biasanya aku tersenyum sinis saat melihat atau bertemu mereka yang memeluk keyakinan tertentu, termasuk Muslim,” katanya.

Sampai di bekas wilayah Jerman Barat, ia bertemu situasi yang sama sekali berbeda. Wilayah itu lebih banyak dihuni kaum imigran yang inferior. “Kami menjadi sampah masyarakat. Kami (Sved dan kaum imigran) adalah orang-orang kulit hitam Amerika yang tinggal di pemukiman terisolir,” ujarnya.
Meski mulanya tidak siap dengan kehidupan itu, Sved perlahan mencontoh perilaku sosial di lingkungan barunya itu. Ia segera memiliki referensi baru tentang bagaimana hidup di dunia barunya dari para imigran yang menjadi kawannya. “Aku banyak melakukan hal buruk, seperti mencuri dan kejahatan lainnya,” kenangnya.

Suatu hari ia bertemu seorang imigran asal Turki, adik seorang imam masjid lokal di lingkungan Sved, yang kemudian menjadi kawan dekatnya. Kedekatan itu memungkinkan sang teman mengenalkan agamanya, Islam, pada Sved si apatis.

Suatu hari, kawan Sved mengatakan pada kakaknya bahwa ia ingin membawa Sved pada Islam. Sang imam tersebut tidak menanggapinya dengan serius dan hanya berkata, “Dia (Sved)? Tidak mungkin.” Namun ia tetap pada pendiriannya, dan mengatakan pada kakaknya bahwa ia akan segera bertemu kembali dengan Sved yang beragama Islam.

Imam masjid itu lalu bepergian selama tiga bulan. Dan saat kembali, ia dikejutkan oleh sapaan Sved terhadapnya. “Ia berkata, ‘Assalamu’alaikum.’ Rasanya sulit mempercayai itu saat itu, hingga aku pun bertanya padanya, ‘Apa yang terjadi padamu?’,” kata sang imam.
Sved menemukan keyakinannya setelah berdiskusi panjang dengan kawan dekatnya itu suatu malam. Setelah membicarakan banyak hal tentang Islam, kata Sved, ia segera memiliki keinginan untuk pergi pergi ke masjid bersama sang teman.

Ia menambahkan, keterpanggilannya untuk memilih Islam turut dipengaruhi oleh pengalamannya pada suatu subuh, di mana ia mendengar seorang anak membaca Alquran. “Tiba-tiba aku menangis, tak tahu kenapa. Aku tak mengerti bahasa Arab, tidak memahami apa yang dibacanya. Tapi seolah hatiku secara jelas memahaminya,” kenangnya dengan mata berkaca-kaca.
Ia menambahkan, peristiwa itu terasa begitu ajaib baginya yang tak lain seorang yang akrab dengan jalanan. “Itu pengalaman yang luar biasa. Aku adalah seorang gangster dan tiba-tiba bisa menangis.”

Ketika sebuah proyek independen pembuatan film dokumenter tentang agama dan budaya di Jerman menemuinya bertanya tentang perpindahan agamanya, Sved menjawab, “Aku tidak akan mengatakan bahwa aku berpindah agama. Mereka hanya menjelaskan banyak hal tentang Islam padaku dan aku mencoba memahaminya,” katanya.

Ia melanjutkan, “Tidak ada perpindahan agama dalam Islam. Allah juga berkata dalam Alquran, ‘Tidak ada paksaan dalam agama (QS. Al-Baqarah: 256),” jawabnya ringan.
Ia menuturkan, sebelum mengamalkan ajaran Islam dirinya telah melakukan pencarian, namun tak meluangkan cukup waktu untuk itu. “Tapi aku selalu percaya Tuhan. Dan aku senang akhirnya menemukan Islam.”

Sved tampak tak ingin memusingkan alasan di balik pilihannya pada Islam. “Aku lebih suka mendeskripsikan keislamanku dengan ‘seseorang telah mengenalkanku pada Islam dan aku menuju agama itu,” katanya.
“Karena pada akhirnya semuanya adalah Islam,” tandas Sved, berusaha menekankan jawabannya pada makna kata Islam, yakni berserah diri. Ia tersenyum.
sumber