Damayanti: Kenapa Gua Korupsi? Gaji di DPR itu Kecil & Semuanya Habis Disetor ke PDIP

Damayanti Wisnu Putranti, tersangka kasus suap yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi, pernah mengeluhkan gaji minim dan banyak tuntutan dari konstituen pendukungnya. Keluhan terlontar tak setelah dia dilantik menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan IX Jawa Tengah (Brebes, Tegal, dan Slawi).

“Mereka menuntut aspirasi untuk pembangunan di daerahnya. Bahkan, tidak sedikit yang memberikan pesan singkat dengan memak-maki,” ujar Damayanti, saat kegiatan reses bersama para konstituennya di Desa Randusanga Kulon, Kecamatan Brebes, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, sekitar awal Desember 2014.

Damayanti juga secara blak-blakan menjelaskan jika gaji pokok sebagai anggota DPR RI terbilang minim dan banyak potongan untuk dibagi- bagi. Dari gaji pokoknya yang sebesar Rp15 juta per bulan, sebanyak Rp12 juta harus disetor ke fraksi PDIP, partainya, dan Rp5 juta untuk Dewan Pimpinan Cabang PDIP Kota Telah sebesar Rp5 juta. “Artin, gaji saya minus Rp2 Juta,” kata Damayanti saat itu.

Anggota Komisi V ini tertangkap tangan KPK pada Rabu, 13 Januari. Dia diduga telah menerima suap sebanyak tiga kali dengan total 99 ribu dolar Singapura. Uang suap ini diberikan oleh Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama (WTU) Abdul Khoir (AKH).

Dalam proses pemberian suap ini Abdul memberikan secara berulang kali melalui Julia Prasetyarini (UWI) dan Dessy A. Edwin (DAE), yang merupakan staf Damayanti. Suap ini disinyalir terkait pembangunan jalan proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun anggaran 2016. (NBCIndonesia.com)

Sistem Setoran ke Partai Ciptakan Politisi Busuk


Semarang - Sistem wajib setor kepada partai politik utamanya bagi kader partai saat maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) maupun bagi kader yang duduk sebagai anggota legislatif atau yang menjadi menteri dapat menciptakan politisi busuk.

''Kalau model wajib setor ini terus dipertahankan oleh partai politik, siapapun kadernya, dari yang sosok paling bersih sekalipun, punya track record yang bagus, punya idealisme tinggi dan berprestasi, kalau masuk ke dalam partai politik, pasti akan rusak karena sistemnya kotor,'' demikian ditegaskan pengamat politik dari Fisip Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Susilo Utomo, pada SP, Rabu (24/9) pagi.

Direktur Pusat Studi Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik Undip itu menegaskan, kotornya sistem yang dibangun parpol di Indonesia itu ibarat "kebo gupak" yang dalam bahasa Jawa artinya "kerbau yang bermain dalam lumpur". Jadi, siapapun yang masuk dalam lumpur itu akan kotor, sebersih apapun orang tersebut.

''Saat ini, partai di Indonesia tidak lagi dibangun atas kesamaan ideologi atau basis sosial yang sama, seperti pada Pemilu 1955. Saat ini, parpol tak lebih seperti perusahaan yang dimiliki oleh tokoh yang sangat kuat sebagai 'owner', bos perusahaan,'' tegas dosen jurusan ilmu pemerintahan Fisip Undip itu.

Dia menyebut contoh, Gerindra yang adalah milik dari Prabowo Subianto, Demokrat yang didirikan oleh SBY, Hanura yang milik Wiranto, Nasdem yang dimiliki Surya Paloh, atau PDI-P oleh Megawati.

Mantan aktivis GMNI dan Ketua Senat Mahasiswa Fisipol UGM itu mengatakan, mengubah sistem yang dijalankan oleh parpol itu jelas pekerjaan tidak mudah dan butuh waktu yang tak pendek. '

'Namun semuanya sangat tergantung dari parpol sendiri, mau atau tidak memperbaiki sistem yang dibangunnya," tegasnya.

Caranya, bisa dengan penggabungan cara electoral thresshold (ET) atau parliamentary thresshold (PT), agar jumlah partai menjadi sedikit.

Dia mengatakan, sistem ET atau PT yang ketat harus diberlakukan, contohnya seperti Australia yang menrapkan ET dan PT yang tinggi, yakni 7,5 persen.

''Namun ironisnya, ET dan PT pun dilanggar sendiri oleh DPR yang menjadi pemegang kuasa politik. Akhirnya ya, seperti ini. Parpol dibangun bukan atas kesamaan ideologi dan basis sosial, tapi lebih sebagai perusahaan. Bagaimana mencari income sebanyak-banyaknya untuk diri sendiri dan setoran untuk kas perusahaan,'' tandasnya. (Beritasatu)


Besaran Setoran Anggota DPR ke Partai


Selain mengeluarkan dana hingga ratusan juta, bahkan miliran rupiah, para bakal calon legislatif (caleg), yang nantinya terpilih masih tetap terbebani dengan iuran rutin kepada partai politik pengusung.

Besaran iuran kepada partai politik beragam, mulai dari jutaan hingga puluhan juta rupiah. Iuran tersebut biasanya dipotong dari pendapatan atau gaji para anggota dewan.

Berikut daftar partai politik dan besaran uang iurannya:

1. Partai Demokrat
Partai Demokrat menarik iuran Rp 5 juta per bulan dari setiap kadernya yang terpilih menjadi anggota dewan untuk periode 2004/2009.

"Ya, anggota DPR dari Fraksi Demokrat wajib setor Rp 5 juta setiap bulan ke DPP, itu untuk biaya operasional DPP," ujar Ketua DPP Partai Demokrat Sutan Bhatoegana dalam pesan singkatnya, Kamis (25/4/2013).

Menurut Sutan, hasil iuran dari para anggota DPR digunakan untuk mendukung kinerja DPP. "Kan DPP juga harus bisa jalan untuk men-support semua DPD dan DPC di seluruh daerah," imbuh Ketua Komisi VII DPR RI itu.

2. Partai Golkar
Partai berlambang pohon beringin tersebut, menerapkan biaya iuran bagi anggotanya sebesar Rp 3 juta. "Ya, kami (ditarik iuran) Rp 3 juta per bulan," ujar Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo.

Menurut anggota Komisi III DPR ini, seluruh dana kader yang rutin ditarik tiap bulannya tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan Fraksi Partai Golkar di DPR.

3. PDI Perjuangan
Rp 25 juta adalah besaran iuran yang diterapkan oleh PDI Perjuangan. "Di PDIP Rp 25 juta per bulan," ujar politisi PDI Perjuangan Eva Kusuma Sundari.

Menurut anggota Komisi III DPR RI itu, dana yang terkumpul di kantong PDI Perjuangan digunakan untuk melaksanakan agenda politik, seperti Pemilu. "Untuk persiapan Pileg (Pemilihan Legislatif) dan Pilpres (Pemilihan Presiden)," ujarnya.

Karena itu, kata Eva, gotong royong adalah strategi perjuangan PDIP termasuk dalam pembiayaan politik. "Untuk operasional, memang termasuk ke DPD dan DPC," imbuhnya.

4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
Anggota Majelis Syuro PKS Refrizal mengatakan, PKS menarik iuran wajib kepada kadernya sebesar Rp 20 juta per bulan.

Dana tersebut, kata Refrizal, digunakan untuk kegiatan seluruh politik PKS. "Ya, untuk semuanya, mencakup itu lah (kegiatan partai)," ujar anggota Komisi VI DPR tersebut.

5. Partai Amanat Nasional (PAN)
PAN menarik iuran kepada para kadernya yang duduk di Parlemen, dengan cara menggunakan persentase dari pendapatan atau gaji.

"Dari kami, untuk anggota legislatif memberikan iuran anggota sebesar 20 persen sejak mulai dilantik sebagai anggota DPR, ini berlaku dari pusat sampai daerah," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PAN Viva Yoga Mauladi.

Bila dihitung secara kasar, anggota DPR RI mendapatkan gaji sebesar Rp 50 juta tiap bulan, setidaknya partai yang dinahkodai Hatta Rajasa tersebut mendapatkan Rp 10 juta dari setiap anggota fraksinya. Menurut anggota Komisi IV DPR ini, kebijakan tersebut digunakan untuk mendanai agenda partai.

6. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
PPP mewajibkan kadernya di Parlemen untuk mewakafkan sebagian penghasilannya kepada partai.

Terkait nominalnya, dana iuran di PPP cukup bervariatif. "Selama ini, sekitar Rp 7,5 juta-Rp 10 juta karena partai banyak pengeluarannya," kata Wakil Ketua Umum PPP Lukman Hakim Saefuddin.

Wakil Ketua MPR itu, berkeyakinan, kadernya tidak akan keberatan dengan kebijakan partai tersebut. "PPP sangat sadar kewajiban anggota yang bersifat wajib dalam tataran nasional dan tidak memberatkan. Jumlah Rp 10 juta sudah sangat memadai," tegasnya.

7. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
PKB mungkin menjadi satu-satunya partai politik di Parlemen yang membebaskan para anggota dewannya dari iuran.

"Gak ada," ujar Ketua Fraksi PKB DPR RI Marwan Jafar menanggapi pertanyaan berapa jumlah iuran kader kepada partai.

Ketika dikonfirmasi, mengapa kebijakan iuran tersebut tidak diberlakukan, Marwan menjelaskan bahwa di PKB urusan menjaga konstituen di Dapil menjadi tanggung jawab para anggotanya. "Ya, biar untuk mengurus dapilnya masing-masing," jelasnya.

Sedangkan, ketika dikonfirmasi bagaimana mesin PKB dapat berjalan bila tidak ada suntikan dana dari para kader di Parlemen. "Dari sumber yang halal," ujar Ketua DPP PKB tersebut.

8. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Partai Gerindra memberlakukan iuran wajib sebesar Rp5 juta kepada kadernya di parlemen.

"Ya, kita sama dengan Demokrat (Rp 5 juta per bulan). Sekitar itu lah, sama dengan Demokrat," kata anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Martin Hutabarat.

Dana tersebut, kata Martin, digunakan untuk menjalankan agenda politik di Partai Gerindra. "Untuk kegiatan kegiatan fraksi. Kalau untuk partai, enggak ya. Kan kegiatan fraksi ada, seperti diskusi-diskusi. Kemudian juga, ada majalah fraksi kita," ujar anggota Komisi III itu.

9. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura)
Senada dengan PAN, Partai Hanura menerapkan iuran berdasarkan persentase, yaitu sebesar 10-20 persen dari pendapatan atau gaji yang didapatkan kadernya yang menjabat sebagai anggota Parlemen.

"Besarnya variatif, yaitu 10–20 persen gajinya," kata Wakil Ketua DPP Partai Hanura Saleh Husin.

Menurut anggota Komisi IV tersebut, kebijakan itu adalah hal yang lumrah karena untuk membiayai agenda politik partai. "Uang yang diberikan ke partai untuk kepentingan bersama," ujarnya. (Liputan6)



Tiap Bulan Anggota DPR Setor 15 Juta Rupiah ke Partai



Anggota DPR periode 2014-2019 dilantik pada 1 Oktober 2014. Sebulan Iebih menjadi anggota dewan, mereka telah menerima gaji. Dari gaji yang mereka terima, anggota harus menyetorkan sumbangan kepada partai politiknya.

Besaran setoran beragam, tergantung kebijakan masing-masing partai. Biasanya, semakin banyak anggota parpol yang duduk di Senayan, maka semakin kecil besaran uang setoran per orang. Namun, bisa juga parpol menetapkan aturan lain.

"Semua anggota DPR pasti setoran iuran bulanan ke partai, hanya jumlahnya beda-beda tergantung kebijakan partai. Kami anggota Fraksi Gerindra dengan kesadaran sendiri, menyetor Rp 15 juta per bulan. Karena kegiatan kami banyak," kata Anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Desmon Mahesa, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Desmon mengatakan, besaran uang setoran bulanan bisa dikompromikan antara anggota dewan dengan partai. Menurutnya, iuran bulanan penting untuk membiayai kegiatan-kegiatan partai, terutama kegia-tan terkait konstituen para anggota dewan.

"Enggak wajib, besaran bisa kompromi. Ini membantu partai saja," kata Wakil Ketua Komisi Hukum DPR itu.

Menurutnya, Anggota Fraksi Gerindra yang masih baru juga diimbau setor ke partai, namun tak harus Rp 15 juta. Berapa? "Masih bisa dikompromikan. Kita enggak kaku menerapkan iuran," katanya.

Sementara itu, informasi yang berhasil dihimpun, anggota Fraksi Partai Demokrat DPR juga harus setor Rp 15 juta setiap bulan, sedangkan anggota Fraksi PDIP setor Rp 10 juta per bulan. Fraksi-fraksi lain belum jelas berapa setoran rutin per bulan setiap anggota DPR.

Setoran anggota DPR ini adalah salah satu pendapatan partai. Penghasilan per orang anggota DPR setiap bulan saat ini sekitar Rp 60-70 juta, tergantung jabatan.

Kebanyakan para legislator tidak keberatan, karena sudah tahu konsekuensi ini sejak awal. Apalagi, duit setoran itu akan digunakan untuk biaya operasional partai, yang memang tidak murah.(WikiDPR)



Separuh Gaji Legislator Wajib Disetor ke Partai


TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah partai sudah ancang-ancang memasang tarif untuk calon legislatornya jika kelak terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada pemilihan umum mendatang. Caranya, memotong gaji mereka untuk setoran partai.

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, berencana mematok sumbangan kadernya Rp 25 juta per bulan. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Ahmad Basarah, besaran sumbangan seperti itu meningkat dari Rp 10 juta per bulan. “Untuk operasional partai, kami potong dari gaji anggota yang duduk di DPR,” kata Basarah di gedung DPR, Senayan, kemarin.

Kebijakan ini, kata Basarah, juga diberlakukan bagi politikus PDI Perjuangan yang sekarang duduk sebagai anggota Dewan di Senayan. Menurut Basarah, kenaikan ini juga bagian dari penggalangan dana untuk kampanye pemilu calon legislator dan calon presiden 2014.

Berdasarkan Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU 00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR, setiap anggota Dewan membawa pulang gaji rata-rata Rp 50 juta. Ini artinya, anggota DPR dari PDI Perjuangan wajib menyetorkan separuh gajinya untuk partai.

Tadi malam merupakan batas akhir partai peserta pemilu mendaftarkan nama-nama calon legislatornya ke Komisi Pemilihan Umum. Setiap partai akan bertarung di 77 daerah pemilihan untuk memperebutkan 560 kursi di parlemen.

Berbeda dengan PDI Perjuangan, Partai Demokrat memilih tetap mengenakan potongan gaji Rp 10 juta untuk kader partai yang terpilih. Menurut Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Jhonny Allen Marbun, kader yang terpilih kelak juga masih dibebani saweran lain untuk mendanai kegiatan partai. Besarnya saweran bergantung pada kemampuan legislator. “Di Kongres Luar Biasa Partai Demokrat, misalnya, ada yang saweran Rp 50 juta,” kata Jhonny.

Partai Golkar mengklaim tidak menetapkan besaran iuran kadernya yang terpilih menjadi anggota DPR. “Tapi, kalau ada kegiatan, mereka wajib memberi saweran,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat Rambe Kamarul Zaman. “Besarannya tergantung kemampuan, angkanya bisa mencapai puluhan juta rupiah.”

Menurut Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Sebastian Salang, budaya setoran atau saweran ke partai ini tidak sehat dan akan memaksa anggota DPR mencari penghasilan lain. Bahkan, kata dia, kewajiban ini juga bisa menggiring politikus Senayan melakukan penyalahgunaan wewenang yang berujung pada praktek korupsi. Budaya seperti inilah, kata Sebastian, yang bakal menyuburkan praktek korupsi. “Kalau mengandalkan gaji saja jelas sulit,” katanya.

Berkaca pada Pemilu 2009, ada banyak calon legislator yang mengeluarkan anggaran di atas batas rasional. “Saya yakin ada yang sampai Rp 10 miliar,” ujar Sebastian sembari menambahkan, pengeluaran besar ini tak akan kembali hanya dengan mengandalkan gaji sebagai anggota DPR selama satu periode.

Dengan penghasilan rata-rata Rp 50 juta per bulan, katanya, seorang anggota DPR hanya bisa menyimpan hingga Rp 600 juta. Gaji selama lima tahun tak akan cukup untuk menutup biaya kampanye. Belum lagi untuk setoran ke partai yang rata-rata Rp 10 juta per bulan. "Hampir pasti dia akan mencari tambahan di luar penghasilan resmi." (Tempo)



Efek Kisruh APBD, Politikus DKI Ditagih Setoran Partai 

Jakarta - Kementerian Dalam Negeri "menghukum" pemerintah DKI karena tak kunjung menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Pendapatan Belanja Daerah DKI Jakarta 2015. Semua anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI serta kepala daerah tak akan digaji selama enam bulan mulai Januari lalu.

"Sudah dua bulan ini tidak gajian," kata Sekretaris Fraksi Partai Demokrat-PAN Johan Musawa di DPRD, Balai Kota, Selasa, 24 Februari 2015. Berdasarkan Pasal 312 ayat 2 Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, DPRD dan kepala daerah yang belum menyetujui Raperda APBD sebelum dimulai tahun anggaran setiap tahunnya dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya. Menurut aturan itu, batas waktu penetapan Raperda APBD adalah akhir Desember tahun lalu.

Efek domino dari tidak digajinya anggota Dewan adalah setoran ke partai menjadi terhambat. Johan mengaku sudah dua bulan tak setor iuran wajib ke partainya, Partai Amanat Nasional. Berdasarkan ketentuan partai dia, setiap anggota Dewan wajib setor sebanyak 20 persen dari gaji mereka per bulannya.

Johan sempat emosi karena partai terus menagih uang setoran itu meski ia tak mendapat gaji. "Partai tidak baca koran apa. Dua puluh persen dari mana, gajian saja enggak," kata dia. Kepada partainya, Johan menyampaikan akan membayar setoran bulanan secara sekaligus begitu gaji turun. "Rapel saja karena saat ini satu sen pun tidak dapat."

Anggota Fraksi Golkar Ramli pun senasib dengan Johan. Sudah dua bulan dia belum setor ke partai dari seharusnya berjumlah Rp 4,5 juta per bulan. "Tidak mungkin setor, uang dari mana," kata dia. Menurut dia, tak ada cara lain untuk menyiasati agar tetap bisa setor ke partai selain membayar sekaligus begitu gaji turun. Adapun gaji sebagai anggota Dewan sebesar Rp 22 juta per bulan.

William Yani, anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mengaku tak terpengaruh dengan hukuman dari Kementerian. "Tidak apa-apa gaji tidak dibayar," kata dia. Ia mengaku punya penghasilan lain sebagai pengacara. Namun, dari gaji sebagai anggota Dewan, ia bisa keluar sampai Rp 15 juta per bulannya. Sebanyak Rp 3 juta disetor ke partai, sisanya untuk kepentingan konstituen.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera Selamat Nurdin mengatakan partainya tak hidup dari gaji anggota Dewan. "Setiap kader kami iuran bukan hanya dari anggota Dewan," kata dia. Selain itu, "Kita masih punya tabungan ini." Namun, setoran anggota Dewan cenderung lebih besar, yakni 40 persen dari pendapatan dia.(Tempo)

Source
Jangan Lupa Di Like & Share Ya!!!