Strategi Jokowi Menolak Rencana Pembangunan Enam Ruas Tol dalam Kota Jakarta

1359525113801260470
Tulisan pernyataan menolak pembangunan 6 ruas jalan tol dalam kota Jakarta, di salah satu sudut kota Jakarta (sumber: http://blognyamitra.wordpress.com)
Gubernur DKI Jakarta Jokowi kembali menggantung rencana pembangunan proyek enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta dengan belum juga mengambil keputusan apakah menyetujui pembangunannya, ataukah tidak, atau hanya menyetujui sebagain dari enam ruas tol itu (seperti yang pernah dikatakannya).
Tetapi, kelihatannya Jokowi lebih cenderung untuk tidak menyetujui seluruhnya. Indikasi tersebut terlihat dari sikapnya tersebut, yang dalam perkembangan terakhir, sampai dengan Selasa, 29 Januari 2013, masih belum juga mengambil keputusan tersebut.
Alasan Jokowi adalah karena dia masih harus menunggu adanya titik temu antara para pakar perkotaan (yang dianggap mewakili kebutuhan masyarakat Jakarta yang sebenarnya) dengan pihak investor (PT Jakarta Tollroad Development) yang akan mengelola proyek tersebut. Di dalam acara uji publik yang menghadirkan para pakar perkotaan itu dengan pihak developer, mereka menyatakan menolak pembangunan enam ruas tol tersebut dengan berbagai argumennya.
“Ya, tadi rame. Belum diputuskan karena belum sambung, … Kalau sudah nyambung baru diputuskan. Ya, tapi kalau sampai sekarang belum sambung, ya mau bagaimana?” kata Jokowi usai pertemuan dengan seluruh stakeholder di Balaikota Jakarta, Selasa, 29/01/2013 itu (Kompas.com).
Kemungkinan besar ini hanya alasan Jokowi untuk mengulur-ulur waktu, mencari jurus yang paling ampuh untuk menolak seluruh pembangunan jalan tol tersebut. Sebab pembangunan jalan tol dalam kota itu jelas bertentangan dengan visi dan misi Jokowi dalam upayanya mengatasi kemacetan lalu-lintas di Jakarta.
Sejak awal Jokowi yakin bahwa pembangunan jalan tol dalam kota bukan solusi untuk mengatasi kemacetan Jakarta, malah sebaliknya, justru akan semakin mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan mobil pribadi. Mungkin saja ruas jalan tol yang rencana panjang totalnya 69,77 kilometer itu akan lancar lalu-lintasnya, tetapi seiring dengan semakin banyaknya mobil pribadi yang bakal ada, di luar jalan tol itu justru akan menambah beban kemacetan Jakarta. Dengan kata lain, akan terjadi penambahan rasio jumlah mobil dengan panjang jalan yang ada.
Jelas ini bertentangan dengan visi dan misi Jokowi untuk mengatasi kemacetan Jakarta, dengan sepenuhnya konsentrasi pada pembangunan prasarana dan alat transportasi massal, serta mendorong pengguna jalan di Jakarta untuk menggunakannya.
Bagaimana bisa dia (Jokowi) akan mendorong warga Jakarta dan pengguna jalan lainnya di Jakarta untuk meninggalkan mobil pribadinya, dan naik alat transportasi massal, kalau dia malah menyetujui pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta itu.
Oleh karena itu Jokowi sebenarnya tidak setuju dengan proyek enam ruas jalan tol itu. Dia bersama wakilnya, Ahok, sudah konsentrasi penuh dengan pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana moda transportasi massal untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Yaitu, pengembangan dan pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) alias busway, monorel, dan MRT. Antara lain yang saat ini sedang dalam proses dan progres adalah penambahan jumlah koridor busway, penambahan bus TransJakarta sampai 1.000 unit, peningkatan kualitas dan kuantitas bus-bus Kopaja (yang juga melewati jalur busway), penerapan sistem plat nomor mobil ganjil-genap mulai Maret 2013, dan seterusnya.
Jokowi yakin bahwa inilah solusi terbaik untuk mengatasi kemacetan Jakarta yang kian lama semakin parah itu. Bahkan sebelum semua proyek transportasi massal itu terwujud, dipredeksi, lalu-lintas Jakarta sudah akan mengalami nyaris stagnan. Namun demikian apa boleh buat, “kesengsaran” inilah yang harus dilewati warga Jakarta , akibat dari manajemen lalu-lintas dan transportasi massal yang ambur-adul selama puluhan tahun, sebelum nanti menikmati dampak positif yang signifikan kalau semua proyek transportasi massal itu sudah terwujud.
Pertanyaannya: Kalau memang Jokowi tidak setuju dengan proyek pembangunan enam ruas tol dalam kota itu, kenapa dia tidak langsung mengambil keputusan cepat dan tegas bahwa mega proyek itu ditolak alias dibatalkan? Bukankah Jokowi sendiri berkali-kali bilang bahwa kerja itu harus cepat dan tegas, termasuk dalam mengabil suatu keputusan? Kenapa kali ini terkesan malah Jokowi plin-plan?
Ternyata, di balik semua itu tidak lepas dari keputusan yang telah dilakukan oleh Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Proyek yang sebenarnya merupakan proyek yang dicanangkan Gubernur sebelum Fauzi, Sutiyoso itu, telah diikat oleh Fauzi Bowo pada 6 Agustus 2012. Pada tanggal tersebut, Fauzi Bowo meneken Peraturan Daerah (Peraturan Gubernur DKI) Nomor 96 sampai 101 Tahun 2012 tentang Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Trace Jalan Tol Dalam Kota Jakarta (Majalah Tempo, 27/01/2013)
Jokowi baru tahu, dan kaget tentang fakta itu ketika dia bertemu dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pada November 2012 lalu. Kepada Jokowi, Djoko Kirmanto memberitahu bahwa proyek itu tidak mungkin bisa dibatalkan lagi, karena sudah ada Peraturan Gubernur-nya (yang ditandatangani oleh Fauzi Bowo). Pemprov DKI yang sekarang, di bawah kepimpinan Jokowi terikat dengan keputusan tersebut. Bahkan katanya, keputusan tersebut juga berdasarkan Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri.
Selain itu Jokowi juga diberitahu bahwa telah dibentuk tim pembangunan enam ruas jalan tol itu yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden Boediono.
Seolah-olah Jokowi itu mau diberitahu bahwa kalau dia berani membatalkan proyek itu, maka secara hukum dia salah, dan juga bisa ditafsirkan menentang Menteri (Menteri PU), Wakil Presiden, dan Presiden.
Pada saat itulah yang mungkin membuat Jokowi sempat bimbang, maka keluarlah pernyataannya, seusai bertemu pertamakali dengan Djoko Kirmanto, bahwa dia tidak bisa membatalkan proyek tersebut, dan bahwa keberadaan jalan tol itu bisa membantu masalah kemacetan lalu-lintas Jakarta. Namun setelah pikirannya tenang, Jokowi berusaha mengambil “jalan tengah,” dengan mengatakan bahwa tidak semua ruas jalan tol itu akan disetujui. Semua akan melalui tahapan pengkajian, dan mungkin hanya dua ruas saja yang disetujuinya.
Namun, setelah melalui proses pengkajian, dua kali uji publik antara para pakar tata kota (yang menolak pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota itu) dengan pihak developer, PT Jakarta Toll Road Development, Jokowi kembali percaya diri untuk mempertahankan pendiriannya untuk tidak menyetujui pembangunan mega proyek itu. Tetapi, karena “bekingan” proyek ini bukan orang-orang sembarangan, ditambah dengan persoalan hukumnya (sudah dibuat SK-nya oleh Gubernur Fauzi Bowo), maka Jokowi tidak bisa begitu saja mengatakan, tidak untuk pembangunan mega proyek itu. Maka itu, dia masih bilang, belum bisa memutuskan sampai sekarang. Karena masih dikaji, masih menunggu titik temu antara para pakar perkotaan dengan pihak developoer, dan sebagainya.
Ada apa sebenarnya dengan tindakan Fauzi Bowo yang membuat keputusan strategis yang sedemikian pentingnya bagi kota Jakarta, pada saat menjelang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta itu? Pilkada DKI Jakarta putaran kedua waktu itu dijadwalkan pada 20 November 2012, dan Fauzi Bowo meneken SK yang menjadi Peraturan Gubernur DKI  tersebut pada 6 Agustus 2012. Apakah ini merupakan suatu strategi antisipasi antara Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI dengan pihak developer, jaga-jaga agar kalau kelak dia kalah dalam Pilkada DKI itu, toh sudah ada landasan hukum yang tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh Gubernur penggantinya, yakni Jokowi? Kenyataannya, memang dia kalah, dan Jokowi menang di Pilkada DKI 2012 itu.
Apalagi mengingat, pada putaran pertama Pilkada DKI, ketika itu Fauzi Bowo sudah kalah dari Jokowi. Pada waktu itu, banyak pihak juga mempredeksikan bahwa pada putaran kedua, Jokowi-Ahok akan kembali menang.
Nah, dalam situasi demikian, hanya sebulan menjelang putaran kedua Pilkada DKI, kenapa Fauzi Bowo membuat keputusan yang demikian penting? Padahal sejak awal, dia juga sudah tahu bahwa visi dan misi Jokowi kalau terpilih menjadi Gubernur DKI adalah anti pembangunan jalan tol. Untuk mengantisipasinya,  Gubernur Fauzi Bowo cepat-cepat membuat Peraturan Gubernur itu, agar kalau kalah, dan Jokowi yang menjadi Gubernur DKI, menggantikannya, Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa lagi, selain menjalankan SK-nya itu. Jokowi sudah diikat, disandera, bahkan sebelum dia memenangi Pilkada DKI Jakarta itu.
Jokowi berpikir keras untuk bagaimana caranya untuk bisa membatalkan proyek tersebut, dia harus punya dukungan publik yang kuat untuk itu. Oleh karena itulah Jokowi pun mengatur strategi dengan mengadakan pertemuan, atau uji publik, yang melibatkan para pakar perkotaan (yang diketahui kontra pembangunan jalan tol itu), dengan pihak developer, yang sudah dilaksanakan dua kali. Terakhir, pada 29 Januari 2013, kemarin.
Hasilnya, Jokowi mendapat “dukungan” publik untuk menolak pembangunan jalan tol tersebut. Ini bisa dijadikan landasan yang kuat bagi Jokowi untuk menolak pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta itu.
Menurut sejumlah sumber yang dikutip Majalah Tempo, uji publik itu sebenarnya cara Jokowi menolak proyek. Meskipiun Pemprov DKI tidak mengeluarkan dananya, keberadaan jalan tol itu bertentangan dengan konsep transportasi massal yang selama ini digagasnya. Jokowi pun dengan sengaja mengaju syarat tidak masuk akal kepada developer, yakni harus juga membangun halte bus di dalam jalan tol. “Itu cuma gaya Solo Jokowi menolak proyek,” kata sumber itu (Tempo, 27/01/2013).
Ketika ditanya Tempo di dalam suatu wawancara, “Masak, di jalan tol ada ruas angkutan umum?” Dengan singkat dan tegas Jokowi menjawab, “Iya, itu syarat saya …”

Pada kesempatan lain, Jokowi juga pernah mengatakan enam ruas tol itu bisa dibangun asal memenuhi tiga syarat. “Kalau tiga syarat itu enggak masuk, ya, sorry aja, ya,” kata Jokowi di Balaikota DKI, pada 11 Januari 2013 (Tempo.co).
Tiga syarat itu adalah, pertama, pembangunan jalan tol dalam kota harus mengakomodasi transportasi massal umum. Artinya, Transjakarta, Kopaja, dan Metromini harus bisa masuk ke ruas tol tersebut. “Kalau untuk mobil pribadi saja, maaf, enggak boleh. Jalan ini harus memuat transportasi massal umum,” katanya.
Syarat kedua adalah soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Jokowi minta Amdal jalan tol ini sudah beres sebelum izin pembangunan diberikan.
Syarat ketiga adalah pintu masuk menuju tol tidak banyak-banyak. Jika pintu tol dibuat banyak, pembangunan tol dalam kota ini bisa menimbulkan kemacetan baru di Jakarta.
Ketiga syarat yang diajukan Jokowi ini jelas sangat sulit direalisasikan. Jokowi memang sengaja “cari gara-gara” dengan mengajukan syarat tersebut.
Lihat saja gambar sketsa salah satu ruas tol itu di bawah ini, jelas malah akan merusak estetika kota Jakarta, belum lagi dampak lainnya yang lebih buruk.
13595249441021319915
Salah satu rencana ruas tol dalam kota yang kontroversial itu. Merusak estetika kota (sumber: kaskus.co.id)
*
Jadi, bagaimana ini?
Kalau Jokowi membatalkan rencana pembangunan mega proyek itu, katanya, tidak bisa, karena sudah ada Peraturan Gubernur DKI sebelumnya tentang status hukum proyek itu. Bahkan Jokowi juga sudah “diwanti-wanti” Menteri PU Djoko Kirmanto bahwa tim royek itu juga sudah dibentuk, ketuanya Wapres Boediono. Bukan hanya itu, bahkan proyek itu juga sudah disetujui Presiden SBY. Dengan kata lain, Jokowi bisa dikatakan telah mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum, dan “menentang” Wapres dan Presiden!
Tetapi, berdasarkan peraturan hukum yang ada, kewenangan akhir untuk memutuskan suatu proyek boleh dibangun ataukah tidak tetap ada di tangan Gubernur DKI Jakarta Jokowi.
Dari sini kemudian muncul perdebatan tentang apakah Jokowi boleh membatalkan proyek itu ataukah tidak.
Kepala Badan Pengelola Jalan Tol Achmad Gani mengatakan bahwa Jokowi tidak bisa membatalkan proyek itu, karena “Kalau mau dibatalkan oleh Pemprov DKI, prosesnya dimulai dari awal. Tata Ruang harus diubah, Permen PU diubah, Pergub diubah, … “katanya (Tribunnews.com, 21/11/2012).
Dari pernyataan Achmad Gani ini terlihat bahwa pola pikirnya adalah khas birokrat yang kaku dan selalu terpaku pada peraturan dan birokrasi daripada melihat sisi manfaatnya suatu proyek bagi kepentingan umum.
Kalau memang proyek tol itu lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaat bagi kepentingan umum (dalam hal ini warga Jakarta), tidak memberi solusi, malah menambah masalah kelak, kenapa tidak membatalkannya sekarang? Daripada terpaku pada peraturan birokat, tetapi ujung-ujungnya malah membawa kesengsaran bagi warga.. Kalau memang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTW)-nya mesti diubah, kenapa tidak diubah saja? Kalau memang Permen PU harus diubah, Pergub harus diubah, harus mulai dari awal lagi, kenapa tidak dilakukan segera? Daripada mau melanjutkan dengan alasan sudah telanjur setengah jalan, tetapi di ujung-ujungnya malah tidak memecahkan masalah, melainkan menambah masalah.
Pengamat perencanaan wilayah dan kota dari Universitas Trisaksti, Yayat Supriyatna mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Jokowi bisa membatalkan rencana pembangunan enam ruas jalan tol itu. Dengan syarat, Jokowi harus terlebih dulu mengubah Peraturan Daerah tentang RTRW tahun 2010 – 2030. Sebab, rencana pembangunan enam ruas tol itu sudah tertulis dalam Perda RTWI DKI Jakarta (yang ditandatangani Fauzi Bowo itu) (Tempo.co)
Mantan Wakil Gubernur Prijanto juga berpendapat bahwa Jokowi bisa menolak proyek jalan tol itu. Sebab, gubernur berwenang meninjau ulang rencana tata ruang. “Peraturan daerah bisa dianulir dengan peraturan daerah baru. Apalagi demi ruang hijau dan kepentingan umum, tentu akan dibela,” kata Prijanto.(Majalah Tempo, 27/01/2013)
Jokowi dan kita semua, terutama sekali warga Jakarta tentu mendambakan moda transportasi yang bersih, nyaman, aman, dan murah, seperti salah satu dari sepuluh moda transportasi terbaik di dunia yang bisa dibaca dengan meng-klik di sini.
13595252602033341950
MRT di Tokyo, moda transportasi massal terbaik di dunia (sumber: lintasme.com)