Gubernur DKI Jakarta Jokowi kembali menggantung rencana
pembangunan proyek enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta dengan belum
juga mengambil keputusan apakah menyetujui pembangunannya, ataukah
tidak, atau hanya menyetujui sebagain dari enam ruas tol itu (seperti
yang pernah dikatakannya).
Tetapi, kelihatannya Jokowi lebih cenderung untuk tidak menyetujui
seluruhnya. Indikasi tersebut terlihat dari sikapnya tersebut, yang
dalam perkembangan terakhir, sampai dengan Selasa, 29 Januari 2013,
masih belum juga mengambil keputusan tersebut.
Alasan Jokowi adalah karena dia masih harus menunggu adanya titik
temu antara para pakar perkotaan (yang dianggap mewakili kebutuhan
masyarakat Jakarta yang sebenarnya) dengan pihak investor (PT Jakarta
Tollroad Development) yang akan mengelola proyek tersebut. Di dalam
acara uji publik yang menghadirkan para pakar perkotaan itu dengan pihak
developer, mereka menyatakan menolak pembangunan enam ruas tol tersebut
dengan berbagai argumennya.
“Ya, tadi rame. Belum diputuskan karena belum sambung, … Kalau sudah nyambung baru diputuskan. Ya, tapi kalau sampai sekarang belum sambung, ya mau bagaimana?” kata Jokowi usai pertemuan dengan seluruh stakeholder di Balaikota Jakarta, Selasa, 29/01/2013 itu (Kompas.com).
Kemungkinan besar ini
hanya alasan Jokowi untuk mengulur-ulur waktu, mencari jurus yang paling
ampuh untuk menolak seluruh pembangunan jalan tol tersebut. Sebab
pembangunan jalan tol dalam kota itu jelas bertentangan dengan visi dan
misi Jokowi dalam upayanya mengatasi kemacetan lalu-lintas di Jakarta.
Sejak awal Jokowi yakin bahwa pembangunan jalan tol dalam kota
bukan solusi untuk mengatasi kemacetan Jakarta, malah sebaliknya, justru
akan semakin mendorong lebih banyak orang untuk menggunakan mobil
pribadi. Mungkin saja ruas jalan tol yang rencana panjang totalnya 69,77
kilometer itu akan lancar lalu-lintasnya, tetapi seiring dengan semakin
banyaknya mobil pribadi yang bakal ada, di luar jalan tol itu justru
akan menambah beban kemacetan Jakarta. Dengan kata lain, akan terjadi
penambahan rasio jumlah mobil dengan panjang jalan yang ada.
Jelas ini bertentangan dengan visi dan misi Jokowi untuk mengatasi
kemacetan Jakarta, dengan sepenuhnya konsentrasi pada pembangunan
prasarana dan alat transportasi massal, serta mendorong pengguna jalan
di Jakarta untuk menggunakannya.
Bagaimana bisa dia (Jokowi) akan mendorong warga Jakarta dan
pengguna jalan lainnya di Jakarta untuk meninggalkan mobil pribadinya,
dan naik alat transportasi massal, kalau dia malah menyetujui
pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota Jakarta itu.
Oleh karena itu Jokowi sebenarnya tidak setuju dengan proyek enam
ruas jalan tol itu. Dia bersama wakilnya, Ahok, sudah konsentrasi penuh
dengan pembangunan dan peningkatan prasarana dan sarana moda
transportasi massal untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Yaitu,
pengembangan dan pembangunan Bus Rapid Transit (BRT) alias busway,
monorel, dan MRT. Antara lain yang saat ini sedang dalam proses dan
progres adalah penambahan jumlah koridor busway, penambahan bus
TransJakarta sampai 1.000 unit, peningkatan kualitas dan kuantitas
bus-bus Kopaja (yang juga melewati jalur busway), penerapan sistem plat
nomor mobil ganjil-genap mulai Maret 2013, dan seterusnya.
Jokowi yakin bahwa inilah solusi terbaik untuk mengatasi kemacetan
Jakarta yang kian lama semakin parah itu. Bahkan sebelum semua proyek
transportasi massal itu terwujud, dipredeksi, lalu-lintas Jakarta sudah
akan mengalami nyaris stagnan. Namun demikian apa boleh buat,
“kesengsaran” inilah yang harus dilewati warga Jakarta , akibat dari
manajemen lalu-lintas dan transportasi massal yang ambur-adul selama
puluhan tahun, sebelum nanti menikmati dampak positif yang signifikan
kalau semua proyek transportasi massal itu sudah terwujud.
Pertanyaannya: Kalau memang Jokowi tidak setuju dengan proyek
pembangunan enam ruas tol dalam kota itu, kenapa dia tidak langsung
mengambil keputusan cepat dan tegas bahwa mega proyek itu ditolak alias
dibatalkan? Bukankah Jokowi sendiri berkali-kali bilang bahwa kerja itu
harus cepat dan tegas, termasuk dalam mengabil suatu keputusan? Kenapa
kali ini terkesan malah Jokowi plin-plan?
Ternyata, di balik semua itu tidak lepas dari keputusan yang telah
dilakukan oleh Gubernur DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Proyek yang
sebenarnya merupakan proyek yang dicanangkan Gubernur sebelum Fauzi,
Sutiyoso itu, telah diikat oleh Fauzi Bowo pada 6 Agustus 2012. Pada
tanggal tersebut, Fauzi Bowo meneken Peraturan Daerah (Peraturan
Gubernur DKI) Nomor 96 sampai 101 Tahun 2012 tentang Penguasaan
Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah untuk Pelaksanaan Pembangunan Trace
Jalan Tol Dalam Kota Jakarta (Majalah Tempo, 27/01/2013)
Jokowi baru tahu, dan kaget tentang fakta itu ketika dia bertemu
dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pada November 2012 lalu.
Kepada Jokowi, Djoko Kirmanto memberitahu bahwa proyek itu tidak mungkin
bisa dibatalkan lagi, karena sudah ada Peraturan Gubernur-nya (yang
ditandatangani oleh Fauzi Bowo). Pemprov DKI yang sekarang, di bawah
kepimpinan Jokowi terikat dengan keputusan tersebut. Bahkan katanya,
keputusan tersebut juga berdasarkan Peraturan Presiden, dan Keputusan
Menteri.
Selain itu Jokowi juga diberitahu bahwa telah dibentuk tim
pembangunan enam ruas jalan tol itu yang dipimpin langsung oleh Wakil
Presiden Boediono.
Seolah-olah Jokowi itu mau diberitahu bahwa kalau dia berani
membatalkan proyek itu, maka secara hukum dia salah, dan juga bisa
ditafsirkan menentang Menteri (Menteri PU), Wakil Presiden, dan
Presiden.
Pada saat itulah yang mungkin membuat Jokowi sempat bimbang, maka
keluarlah pernyataannya, seusai bertemu pertamakali dengan Djoko
Kirmanto, bahwa dia tidak bisa membatalkan proyek tersebut, dan bahwa
keberadaan jalan tol itu bisa membantu masalah kemacetan lalu-lintas
Jakarta. Namun setelah pikirannya tenang, Jokowi berusaha mengambil
“jalan tengah,” dengan mengatakan bahwa tidak semua ruas jalan tol itu
akan disetujui. Semua akan melalui tahapan pengkajian, dan mungkin hanya
dua ruas saja yang disetujuinya.
Namun, setelah melalui proses pengkajian, dua kali uji publik
antara para pakar tata kota (yang menolak pembangunan enam ruas jalan
tol dalam kota itu) dengan pihak developer, PT Jakarta Toll Road
Development, Jokowi kembali percaya diri untuk mempertahankan
pendiriannya untuk tidak menyetujui pembangunan mega proyek itu. Tetapi,
karena “bekingan” proyek ini bukan orang-orang sembarangan, ditambah
dengan persoalan hukumnya (sudah dibuat SK-nya oleh Gubernur Fauzi
Bowo), maka Jokowi tidak bisa begitu saja mengatakan, tidak untuk
pembangunan mega proyek itu. Maka itu, dia masih bilang, belum bisa
memutuskan sampai sekarang. Karena masih dikaji, masih menunggu titik
temu antara para pakar perkotaan dengan pihak developoer, dan
sebagainya.
Ada apa sebenarnya dengan tindakan Fauzi Bowo yang membuat
keputusan strategis yang sedemikian pentingnya bagi kota Jakarta, pada
saat menjelang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta itu? Pilkada DKI
Jakarta putaran kedua waktu itu dijadwalkan pada 20 November 2012, dan
Fauzi Bowo meneken SK yang menjadi Peraturan Gubernur DKI tersebut pada
6 Agustus 2012. Apakah ini merupakan suatu strategi antisipasi antara
Fauzi Bowo sebagai Gubernur DKI dengan pihak developer, jaga-jaga agar
kalau kelak dia kalah dalam Pilkada DKI itu, toh sudah ada landasan
hukum yang tidak bisa dibatalkan begitu saja oleh Gubernur penggantinya,
yakni Jokowi? Kenyataannya, memang dia kalah, dan Jokowi menang di
Pilkada DKI 2012 itu.
Apalagi mengingat, pada putaran pertama Pilkada DKI, ketika itu
Fauzi Bowo sudah kalah dari Jokowi. Pada waktu itu, banyak pihak juga
mempredeksikan bahwa pada putaran kedua, Jokowi-Ahok akan kembali
menang.
Nah, dalam situasi demikian, hanya sebulan menjelang putaran kedua
Pilkada DKI, kenapa Fauzi Bowo membuat keputusan yang demikian penting?
Padahal sejak awal, dia juga sudah tahu bahwa visi dan misi Jokowi
kalau terpilih menjadi Gubernur DKI adalah anti pembangunan jalan tol.
Untuk mengantisipasinya, Gubernur Fauzi Bowo cepat-cepat membuat
Peraturan Gubernur itu, agar kalau kalah, dan Jokowi yang menjadi
Gubernur DKI, menggantikannya, Jokowi tidak bisa berbuat apa-apa lagi,
selain menjalankan SK-nya itu. Jokowi sudah diikat, disandera, bahkan
sebelum dia memenangi Pilkada DKI Jakarta itu.
Jokowi berpikir keras untuk bagaimana caranya untuk bisa
membatalkan proyek tersebut, dia harus punya dukungan publik yang kuat
untuk itu. Oleh karena itulah Jokowi pun mengatur strategi dengan
mengadakan pertemuan, atau uji publik, yang melibatkan para pakar
perkotaan (yang diketahui kontra pembangunan jalan tol itu), dengan
pihak developer, yang sudah dilaksanakan dua kali. Terakhir, pada 29
Januari 2013, kemarin.
Hasilnya, Jokowi mendapat “dukungan” publik untuk menolak
pembangunan jalan tol tersebut. Ini bisa dijadikan landasan yang kuat
bagi Jokowi untuk menolak pembangunan enam ruas jalan tol dalam kota
Jakarta itu.
Menurut sejumlah sumber yang dikutip Majalah Tempo, uji
publik itu sebenarnya cara Jokowi menolak proyek. Meskipiun Pemprov DKI
tidak mengeluarkan dananya, keberadaan jalan tol itu bertentangan dengan
konsep transportasi massal yang selama ini digagasnya. Jokowi pun
dengan sengaja mengaju syarat tidak masuk akal kepada developer, yakni
harus juga membangun halte bus di dalam jalan tol. “Itu cuma gaya Solo
Jokowi menolak proyek,” kata sumber itu (Tempo, 27/01/2013).
Ketika ditanya Tempo di dalam suatu wawancara, “Masak, di
jalan tol ada ruas angkutan umum?” Dengan singkat dan tegas Jokowi
menjawab, “Iya, itu syarat saya …”
Pada kesempatan lain, Jokowi juga pernah mengatakan enam ruas tol
itu bisa dibangun asal memenuhi tiga syarat. “Kalau tiga syarat itu enggak masuk, ya, sorry aja, ya,” kata Jokowi di Balaikota DKI, pada 11 Januari 2013 (Tempo.co).
Tiga syarat itu adalah, pertama, pembangunan jalan tol dalam kota
harus mengakomodasi transportasi massal umum. Artinya, Transjakarta,
Kopaja, dan Metromini harus bisa masuk ke ruas tol tersebut. “Kalau
untuk mobil pribadi saja, maaf, enggak boleh. Jalan ini harus memuat transportasi massal umum,” katanya.
Syarat kedua adalah soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(Amdal). Jokowi minta Amdal jalan tol ini sudah beres sebelum izin
pembangunan diberikan.
Syarat ketiga adalah pintu masuk menuju tol tidak banyak-banyak.
Jika pintu tol dibuat banyak, pembangunan tol dalam kota ini bisa
menimbulkan kemacetan baru di Jakarta.
Ketiga syarat yang diajukan Jokowi ini jelas sangat sulit
direalisasikan. Jokowi memang sengaja “cari gara-gara” dengan mengajukan
syarat tersebut.
Lihat saja gambar
sketsa salah satu ruas tol itu di bawah ini, jelas malah akan merusak
estetika kota Jakarta, belum lagi dampak lainnya yang lebih buruk.
*
Jadi, bagaimana ini?
Kalau Jokowi membatalkan rencana pembangunan mega proyek itu,
katanya, tidak bisa, karena sudah ada Peraturan Gubernur DKI sebelumnya
tentang status hukum proyek itu. Bahkan Jokowi juga sudah
“diwanti-wanti” Menteri PU Djoko Kirmanto bahwa tim royek itu juga sudah
dibentuk, ketuanya Wapres Boediono. Bukan hanya itu, bahkan proyek itu
juga sudah disetujui Presiden SBY. Dengan kata lain, Jokowi bisa
dikatakan telah mengambil keputusan yang bertentangan dengan hukum, dan
“menentang” Wapres dan Presiden!
Tetapi, berdasarkan peraturan hukum yang ada, kewenangan akhir
untuk memutuskan suatu proyek boleh dibangun ataukah tidak tetap ada di
tangan Gubernur DKI Jakarta Jokowi.
Dari sini kemudian muncul perdebatan tentang apakah Jokowi boleh membatalkan proyek itu ataukah tidak.
Kepala Badan Pengelola Jalan Tol Achmad Gani mengatakan bahwa
Jokowi tidak bisa membatalkan proyek itu, karena “Kalau mau dibatalkan
oleh Pemprov DKI, prosesnya dimulai dari awal. Tata Ruang harus diubah,
Permen PU diubah, Pergub diubah, … “katanya (Tribunnews.com, 21/11/2012).
Dari pernyataan Achmad Gani ini terlihat bahwa pola pikirnya
adalah khas birokrat yang kaku dan selalu terpaku pada peraturan dan
birokrasi daripada melihat sisi manfaatnya suatu proyek bagi kepentingan
umum.
Kalau memang proyek tol itu lebih banyak mudharatnya ketimbang
manfaat bagi kepentingan umum (dalam hal ini warga Jakarta), tidak
memberi solusi, malah menambah masalah kelak, kenapa tidak
membatalkannya sekarang? Daripada terpaku pada peraturan birokat, tetapi
ujung-ujungnya malah membawa kesengsaran bagi warga.. Kalau memang
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTW)-nya mesti diubah, kenapa tidak diubah
saja? Kalau memang Permen PU harus diubah, Pergub harus diubah, harus
mulai dari awal lagi, kenapa tidak dilakukan segera? Daripada mau
melanjutkan dengan alasan sudah telanjur setengah jalan, tetapi di
ujung-ujungnya malah tidak memecahkan masalah, melainkan menambah
masalah.
Pengamat perencanaan wilayah dan kota dari Universitas Trisaksti,
Yayat Supriyatna mengatakan, Gubernur DKI Jakarta Jokowi bisa
membatalkan rencana pembangunan enam ruas jalan tol itu. Dengan syarat,
Jokowi harus terlebih dulu mengubah Peraturan Daerah tentang RTRW tahun
2010 – 2030. Sebab, rencana pembangunan enam ruas tol itu sudah tertulis
dalam Perda RTWI DKI Jakarta (yang ditandatangani Fauzi Bowo itu) (Tempo.co)
Mantan Wakil Gubernur Prijanto juga berpendapat bahwa Jokowi bisa
menolak proyek jalan tol itu. Sebab, gubernur berwenang meninjau ulang
rencana tata ruang. “Peraturan daerah bisa dianulir dengan peraturan
daerah baru. Apalagi demi ruang hijau dan kepentingan umum, tentu akan
dibela,” kata Prijanto.(Majalah Tempo, 27/01/2013)
Jokowi dan kita semua, terutama sekali warga Jakarta tentu mendambakan
moda transportasi yang bersih, nyaman, aman, dan murah, seperti salah
satu dari sepuluh moda transportasi terbaik di dunia yang bisa dibaca
dengan meng-klik di sini.
Social Plugin